Copyright © 2011-2013 by dimz.thecreator. Powered by Blogger.
Archive for November 2011
Kisah Pendaki Gunung
Ini ada sebuah kisah tentang Pendaki Gunung. Ada banyak hal menarik yang bisa digali dari cerita ini. Tapi, untuk saat ini, saya mau share sedikit dari yang saya pahami. Yuk kita simak.
-------
Suatu ketika, ada
seorang pendaki gunung yang sedang bersiap-siap melakukan perjalanan.
Di punggungnya, ada ransel carrier dan beragam carabiner (pengait)
yang tampak bergelantungan. Tak lupa tali-temali yang disusun
melingkar di sela-sela bahunya. Pendakian kali ini cukup berat,
persiapan yang dilakukan pun lebih lengkap.
Kini, di hadapannya
menjulang sebuah gunung yang tinggi. Puncaknya tak terlihat, tertutup
salju yang putih. Ada awan berarak-arak disekitarnya, membuat tak
seorangpun tahu apa yang tersembunyi didalamnya. Mulailah pendaki
muda ini melangkah, menapaki jalan-jalan bersalju yang terbentang di
hadapannya. Tongkat berkait yang di sandangnya, tampak menancap
setiap kali ia mengayunkan langkah.
Setelah beberapa
berjam-jam berjalan, mulailah ia menghadapi dinding yang terjal. Tak
mungkin baginya untuk terus melangkah. Dipersiapkannya tali temali
dan pengait di punggungnya. Tebing itu terlalu curam, ia harus
mendaki dengan tali temali itu. Setelah beberapa kait ditancapkan,
tiba-tiba terdengar gemuruh yang datang dari atas. Astaga, ada badai
salju yang datang tanpa disangka. Longsoran salju tampak deras
menimpa tubuh sang pendaki. Bongkah-bongkah salju yang mengeras,
terus berjatuhan disertai deru angin yang membuat tubuhnya
terhempas-hempas ke arah dinding.
Badai itu terus
berlangsung selama beberapa menit. Namun, untunglah tali-temali dan
pengait telah menyelamatkan tubuhnya dari dinding yang curam itu.
Semua perlengkapannya telah lenyap, hanya ada sebilah pisau yang ada
di pinggangnya. Kini ia tampak tergantung terbalik di dinding yang
terjal itu. Pandangannya kabur, karena semuanya tampak memutih. Ia
tak tahu dimana ia berada.
Sang pendaki begitu
cemas, lalu ia berkomat-kamit, memohon doa kepada Tuhan agar
diselamatkan dari bencana ini. Mulutnya terus bergumam, berharap ada
pertolongan Tuhan datang padanya.
Suasana hening setelah
badai. Di tengah kepanikan itu, tampak terdengar suara dari hati
kecilnya yang menyuruhnya melakukan sesuatu. "Potong tali
itu.... potong tali itu."
Terdengar senyap
melintasi telinganya. Sang pendaki bingung, apakah ini perintah dari
Tuhan? Apakah suara ini adalah pertolongan dari Tuhan? Tapi bagaimana
mungkin, memotong tali yang telah menyelamatkannya, sementara dinding
ini begitu terjal? Pandanganku terhalang oleh salju ini, bagaimana
aku bisa tahu? Banyak sekali pertanyaan dalam dirinya. Lama ia
merenungi keputusan ini, dan ia tak mengambil keputusan apa-apa...
Beberapa minggu
kemudian, seorang pendaki menemukan ada tubuh yang tergantung
terbalik di sebuah dinding terjal. Tubuh itu tampak membeku,dan
tampak telah meninggal karena kedinginan. Sementara itu, batas tubuh
itu dengan tanah, hanya berjarak 1 meter saja....
-------
Jika dirimu adalah
seorang pendaki gunung yang tengah tergantung di tepi jurang yang
curam sebagaimana dalam cerita, bagaimana reaksimu? Berdiam atau
memotong tali?
Berbagai pilihan selalu
hadir dalam hidup kita. Dari mengawali hari di pagi hari (bangun
tidur) hingga hari berakhir, kita selalu dihadapkan dengan berbagai
pilihan. Mungkin pilihan-pilihan itu terdengar sepele. Tapi, satu
pilihan di awal hari mengantar kita kepada berbagai pilihan hingga
akhir hari. Percayakah kamu?
Misal saja begini. Di
pagi hari, kita terbangun dan langsung memulai hari dengan bersaat
teduh. Setelah itu kita bersiap mandi. Dalam perjalanan ke toilet,
kita bertemu dengan teman sekost dan saling berbagi senyum atau tukar
sapa. Usai mandi, kemudian bersiap-siap ke kampus, dan berangkat.
Sampai di kampus, mampir ke kantin untuk sarapan. Lalu ikut
perkuliahan sampai sesi 3 dan pulang. Di tengah perjalanan pulang,
ada SMS untuk menghadiri rapat saat itu juga. Usai rapat dan sampai
di kost, badan terasa lelah. Sedangkan berbagai tugas belum selesai.
Dan seterusnya.
Nah, bagaimana bila pagi
itu tidak langsung SaTe setelah bangun tidur, tapi malah
bersantai-santai? Bisa jadi kita merasa malas dan ingin tidur lagi.
Lalu terlambat bangun, mandi dengan terburu-buru. Sampai kampus
telat, dan tidak sempat sarapan. Suasana hati kacau karena situasi di
pagi hari. Kuliah jadi ga konsen. Pulang kuliah, wajah seperti orang
depresi, galau. Dapat SMS untuk ikut rapat, malah marah-marah. Sampai
di kost, langsung tidur. Tugas buat esok hari belum selesai.
Itu baru satu kemungkinan
kejadian dari berbagai kombinasi kejadian yang mungkin terjadi.
Bagaimana bila kita memilih untuk tidak kuliah? Bagaimana kalau kita
memilih untuk pergi sarapan walau sudah telat? Baru bangun tidur saja
sudah ada berbagai pilihan. Rencana untuk masuk STIS pun juga berawal
dari suatu pilihan. Bagaimana kita mengatasi dan menentukan pilihan-pilihan ini? Ada solusi 90/10 yang cukup membantu, info selengkapnya bisa dilihat disini.
Mungkin hal-hal tersebut
bisa disepelekan. Tapi, bagaimana dengan pilihan yang menyangkut
keselamatan atau hidup kita? Maukah kita menyepelekannya dan menjadi
seperti pendaki tadi? Tuhan sudah menunjukkan jalan pada kita (ingat
Yoh 14:6). Tinggal bagaimana kita memilih dari berbagai jalan yang
merupakan jalan yang ditunjukkanNya. Mari kita buat diri kita semakin
peka akan pilihan-pilihan yang hadir dalam hidup kita yang telah
ditunjukkan olehNya.
GBUs ^^
Tag :
Rohani,
Pelita
Shaloom…
Ini adalah sebuah cerita
yang saya temukan ketika googling. Yuk kita simak.
-------
Pada suatu malam,
seorang buta berpamitan pulang dari rumah sahabatnya. Sang sahabat
membekalinya dengan sebuah lentera pelita. Orang buta itu terbahak
berkata: "Buat apa saya bawa pelita? Kan sama saja buat saya!
Saya bisa pulang kok." Dengan lembut sahabatnya menjawab, "Ini
agar orang lain bisa melihat kamu, biar mereka tidak menabrakmu."
Akhirnya orang buta itu setuju untuk membawa pelita tersebut. Tak
berapa lama, dalam perjalanan, seorang pejalan menabrak si buta.
Dalam kagetnya, ia mengomel, "Hei, kamu kan punya mata! Beri
jalan buat orang buta dong!" Tanpa berbalas sapa, mereka pun
saling berlalu.
Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta. Kali ini si buta bertambah marah, "Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa pelita ini supaya kamu bisa lihat!" Pejalan itu menukas, "Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, pelitamu sudah padam!" Si buta tertegun.... Menyadari situasi itu, penabraknya meminta maaf, "Oh, maaf, sayalah yang 'buta', saya tidak melihat bahwa Anda adalah orang buta."
Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta. Kali ini si buta bertambah marah, "Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa pelita ini supaya kamu bisa lihat!" Pejalan itu menukas, "Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, pelitamu sudah padam!" Si buta tertegun.... Menyadari situasi itu, penabraknya meminta maaf, "Oh, maaf, sayalah yang 'buta', saya tidak melihat bahwa Anda adalah orang buta."
Si buta tersipu
menjawab, "Tidak apa-apa, maafkan saya juga atas kata-kata kasar
saya." Dengan tulus, si penabrak membantu menyalakan kembali
pelita yang dibawa si buta. Mereka pun melanjutkan perjalanan
masing-masing.
Dalam perjalanan
selanjutnya, ada lagi pejalan yang menabrak orang buta tersebut. Kali
ini, si buta lebih berhati-hati, dia bertanya dengan santun, "Maaf,
apakah pelita saya padam?" Penabraknya menjawab, "Lho, saya
justru mau menanyakan hal yang sama." Senyap sejenak... secara
berbarengan mereka bertanya, "Apakah Anda orang buta?"
Secara serempak pun mereka menjawab, "Iya...," sembari
meledak dalam tawa. Mereka pun berupaya saling membantu menemukan
kembali pelita mereka yang berjatuhan sehabis bertabrakan.
Pada waktu itu juga,
seseorang lewat. Dalam keremangan malam, nyaris saja ia menubruk
kedua orang yang sedang mencari-cari pelita tersebut. Ia pun berlalu,
tanpa mengetahui bahwa mereka adalah orang buta. Timbul pikiran dalam
benak orang ini, "Rasanya saya perlu membawa pelita juga, jadi
saya bisa melihat jalan dengan lebih baik, orang lain juga bisa ikut
melihat jalan mereka."
-------
Dalam ilustrasi ini,
pelita melambangkan terang kebijaksanaan. Membawa pelita berarti
menjalankan kebijaksanaan dalam hidup. Pelita, sama halnya dengan
kebijaksanaan, melindungi kita dan pihak lain dari berbagai aral
rintangan (yaitu tabrakan!).
Si buta pertama mewakili
mereka yang terselubungi kegelapan batin, keangkuhan, kebebalan, ego,
dan kemarahan. Selalu menunjuk ke arah orang lain, tidak sadar bahwa
lebih banyak jarinya yang menunjuk ke arah dirinya sendiri. Dalam
perjalanan "pulang", ia belajar menjadi bijak melalui
peristiwa demi peristiwa yang dialaminya. Ia menjadi lebih rendah
hati karena menyadari kebutaannya dan dengan adanya belas kasih dari
pihak lain. Ia juga belajar menjadi pemaaf.
Penabrak pertama mewakili
orang-orang pada umumnya, yang kurang kesadaran, yang kurang peduli.
Kadang, mereka memilih untuk "membuta" walaupun mereka bisa
melihat.
Penabrak kedua mewakili
mereka yang seolah bertentangan dengan kita, yang sebetulnya
menunjukkan kekeliruan kita, sengaja atau tidak sengaja. Mereka bisa
menjadi guru-guru terbaik kita. Tak seorang pun yang mau jadi buta,
sudah selayaknya kita saling memaklumi dan saling membantu.
Orang buta kedua mewakili
mereka yang sama-sama gelap batin dengan kita. Betapa sulitnya
menyalakan pelita kalau kita bahkan tidak bisa melihat pelitanya.
Orang buta sulit menuntun orang buta lainnya. Itulah pentingnya untuk
terus belajar agar kita menjadi makin melek, semakin bijaksana.
Orang terakhir yang lewat
mewakili mereka yang cukup sadar akan pentingnya memiliki pelita
kebijaksanaan.
Lalu, siapakah kita dalam
cerita ini? Bagaimanakah dengan terang yang telah diberikan kepada
kita dan ada dalam kita? Bagaimana terang yang dapat menuntun
perjalanan hidup kita itu dalam diri kita pribadi? Sudahkah kita
sulut pelita dalam diri kita masing-masing? Jika sudah, apakah
nyalanya masih terang, atau bahkan nyaris padam? JADILAH PELITA, bagi
diri kita sendiri dan sekitar kita. (ingat Yoh 8: 12)
Sumber Ilustrasi : Kisah-Kisah
Inspiratif (dengan beberapa gubahan)
Tag :
Rohani,